OLEH: BENY ULEANDER
A. Produksi Madu Masih Timpang
Dalam hal teknik budidaya lebah madu, angka produksi madu setiap tahun dan tingkat konsumsi madu, Indonesia sudah tertinggal dua sampai tiga dekade dari negara lain, meski perlebahan Indonesia terkategori sebagai salah satu komponen terpenting dalam pembangunan sektor pertanian dan kehutanan berkelanjutan. Secara ekologis dan ekonomis, peran lebah madu dalam penyerbukan tanaman cukup menguntungkan bagi kelestarian flora dan peternak lebah.
Seruan mengembangkan budidaya lebah madu di Indonesia pernah digagas mantan Presiden Soeharto di tahun 1977. Saat itu, Presiden Soeharto menganjurkan agar peternakan lebah dilakukan dalam skala besar. Dalam Lokakarya Nasional Riset dan Teknologi tahun 1978, anjuran presiden ditampung jadi bagian garis kebijaksanaan kegiatan riset dan teknologi pada PELITA III yang berkaitan dengan usaha pengadaan “BUTASARMAN” (Kebutuhan dasar manusia).
Secara operasional, Departemen Pertanian melalui Ditjen Kehutanan sudah menggelar di beberapa kawasan hutan dan pengembangan ternak tradisional (1), semi teknis (2) dan industrialisasi (3) oleh Ditjen Tanaman Pangan. Data statistik per tahun 1976-1980 menyebut, Indonesia harus mengimpor 176.000 kg madu setiap tahun. Untuk dijadikan sebuah komoditi non migas, maka secara kontinyu diperlukan sebuah pabrik farmasi, yang salah satu produk obat batuknya memerlukan komponen utama madu (Ketut Patra, Sinar Harapan, 28/1/1982).
Ditinjau dari kekayaan alam, Indonesia menyimpan potensi besar bagi pengembangan usaha perlebahan. Bahkan, enam dari tujuh species lebah madu di dunia ada ada di bumi nusantara, dan sudah dimanfaatkan masyarakat untuk diambil madu dan lilin.
Negeri dengan luas tanah sekitar 200 juta ha; pertanian 11.757.900 ha dan hutan sekitar 123.200.000 ha, yang yang dianggap produktif sebagai sumber pakan lebah (bee forage) hanya 80.000.000 ha. Dari total areal yang produktif tersebut dapat menghasilkan sekitar 80.000-200.000 ton dalam setahun. Menurut Algamar dkk (1986), Indonesia bisa menjadi negara industri perlebahan paling unggul di dunia.
Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara baik. Di sejumlah negara maju, lebah madu ditempatkan dalam mata rantai paket teknologi modern di bidang pertanian, minimal untuk sektor hortikultural. Ia dilindungi dari bahaya kemusnahan oleh obat-obatan anti hama. Bahkan, para pengusaha perkebunan buah-buahan sengaja menyewa serangga dari peternakan lebah ketika tanaman perkebunan sedang berbunga. Amerika Serikat, pada tahun 1982 misalnya, dari produksi pertanian bernilai sekitar US$ 45 miliar per tahun berkat kegiatan riset pengembangan ilmu dan teknologi, ternyata satu miliar dari jumlah tersebut, berkat aktivitas persarian (Pollination) (Anonymous, 1972).
Meksiko merupakan negara produsen madu terbesar di dunia. Negeri ini bisa produksi madu sekitar 37.200 ton per tahun (van der Plaas, 1982) dan juga tercatat sebagai negara terbesar yang menyuplai pasar madu dunia (20,1%) dari total pasar madu dunia per 1984 (Foo, 1986).
Sedangkan Jerman Barat justru menjadi negara pengimpor madu terbesar di dunia yakni sekitar 28,3% dari total madu di pasaran dunia per 1984 (Foo, 1986).
Di Jepang, impor madu terus meningkat 3 ton/tahun (1955-1959), 79 ton/tahun (1960-1964), 10.889 ton/tahun (1965-1969) (Soerodjotanojo et, al, 1980). Makin tinggi teknologi suatu negara, makin tinggi pula jumlah konsumsi madu (Winarno, 1980). Setahun, tingkat konsumsi madu di negara-negara maju seperti Jerman, Jepang, Inggris dan Perancis mencapai 700-1500 gr per kapita. Negara berkembang kurang dari 70 gr per kapita per tahun (Iliesu, 1977), dan Indonesia kurang dari 20 gr per kapita per tahun (Winarno, 1980), dan bahkan hanya 1,335 gr per kapita per tahun (Toebin, 1986).
Data Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) 2005 menyebut, lingkungan pertanian dan hutan Indonesia seluas 19,2 juta hektar itu bila dioptimalkan, setahun Indonesia bisa menghasilkan minimal 200 ribu ton madu dari berbagai bunga, dari pertanian maupun hutan. Merunut pada asumsi ini, Indonesia bisa menghasilkan devisa negara Rp 20 trilliun per tahun dan jika dimaksimalkan bisa 2 juta ton per tahun dari bisnis perlebahan. Di samping itu, masyarakat bisa menjadikan madu sebagai food suplemen karena gizinya yang natural. Tradisi konsumsi madu di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak ratusan tahun silam, namun baru sebatas obat dan dalam takaran yang sangat sedikit.
Saat ini, kesadaran masyarakat akan madu sebagai salah satu food suplement memicu terjadinya peningkatan terhadap kebutuhan madu. Data Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) 2005 menyebut, angka konsumsi madu Indonesia berkisar 7000-15.000 ton per tahun. Sedangkan produksi madu Indonesia, per 2002 baru mencapai 4.000-5.000 ton/tahun. Di sini jelas tercipta jurang lebar antara tingkat kebutuhan dan produksi.
Potret miring ini memacu beredarnya madu palsu di pasaran. Kini, di pasaran madu dikenal original honey (madu asli) dan sintetis honey (madu proses atau campuran). Dari pengamatan API, sintetis honey paling dominan beredar di pasaran dan original honey hanya 10% ada di mal-mal, apotek, pasar swalayan, agen dan pasar-pasar tradisional.
Kamis, 20 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
salam kenal dari pecinta madu...
BalasHapus